Jumat, 30 April 2010

bilur bulir putih

Entah untuk yang keberapa kalinya motor itu dideru, entah untuk yang keberapa kalinya pintu rumah itu di buka tutup, entah untuk yang keberapa kalinya doa itu terucap dibatinmu. Hanya untuk satu pencapaian, bertahan hidup.

Pagi buta dia telah bangun dari peraduan untuk segera bergegas menyiapkan diri untuk menghadapi perjalanan hidup yang dia sendiri tidak tahu bagaimana akhir ceritanya. Hanya dibekali dengan segelas teh panas yang menghangatkan sisi lambung untuk mengarungi aktivitas kerasnya dunia. Dengan tergopoh-gopoh dia bergegas pergi demi menyelamatkan kehidupan dia dan anak-anaknya.

Sesampainya ibuku ditempat usahanya, hanya satu yang dimintanya kepada tuhan, agar cukup mendapatkan rejeki untuk dibawa pulang hari ini. Tetapi apa nyana bahwa kondisi daya beli masyarakat sekarang sudah jauh menurun akibat resesi ekonomi dunia yang turut menghantam negara pertiwi ini. Turunnya daya beli masyarakat tersebut juga ditunjang oleh menjamurnya pasar-pasar moderen sehingga masyarakat lebih memilih berbelanja ke pasar moderen yang menyajikan kesan eksklusif, berpendingin ruangan, bersih dan yang terutama ialah menjadi ajang tempat cuci mata dan sekedar berjalan-jalan untuk menghabiskan waktu, jauh berbanding terbalik dengan kondisi pasar tradisional yang ditempati oleh ibuku. Kesan jorok, becek ketika hujan turun, panas, bau, semua komposisi negatif diatas melekat erat di pasar tersebut seolah tak mau pisah. Mungkin inilah beberapa faktor-faktor dari sekian banyak faktor negatif lain yang menyebabkan turunnya daya beli masyarakat ke pasar tradisional. 


Dengan langkah gontai dan rona wajah yang tidak bersinar sewaktu pergi pagi berangkat ke pasar, ibuku hanya bisa pasrah dengan pendapatan yang diterimanya hari ini, jauh dari kata cukup, tapi beliau hanya bisa pasrah dan bersyukur karena masih diberi rejeki yang halal biarpun hanya sedikit. Dan yang terpenting masih diberikan kesehatan yang tiada bandingnya untuk mencari rejeki.


Capek, air muka tersebut terlihat jelas ketika beliau terlelap. Tampak jelas guratan-guratan nasib yang tidak berpihak kepada ibuku di permukaan wajahnya. Munculnya rambut-rambut putih yang datang sebelum waktunya, yang menandakan betapa beratnya perjuangan dan beban hidup yang ditimpakan kepikiran dan dipikul oleh pundaknya.


Tatkala aku perhatikan dengan seksama paras ibuku, terlihat jelas alur-alur bilur bulir putih di pipi yang berasal dari sudut kelopak matanya. Oh tuhan, ternyata ibuku sering menangis dalam kesendirian malam tanpa diketahui oleh siapapun juga, termasuk kami, anak-anaknya. Menangis karena beban hidup yang teramat berat, beban hidup yang dililitkan ditubuhnya, beban hidup yang selalu datang bertubi-tubi tanpa mengenal kata kompromi.


Bilur bulir putih tersebut menandakan bahwa ibuku hanya bisa tabah menghadapi cobaan hidup yang menimpanya. Entah sampai kapan bekas bilur bulir putih tersebut menghilang dari paras pipi ibuku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar