Minggu, 05 Juni 2011

tak terasa sudah

Tingkat kedewasaan seorang manusia itu terhampiri ketika telah dituntut dengan berbagai macam tanggung jawab yang mengikutinya, yang tak akan pernah lepas sampai kapanpun selagi hayat masih dikandung badan, hal itu akhirnya menghampiriku juga. Memang terlambat sih datangnya, tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

Telah satu tahun sudah saya tidak memposting tulisan ini dikarenakan kesibukan yang bersifat tuntutan hidup. Maklum apabila telah menjadi seorang ayah, harus mencari nafkah untuk keluarga dijalan yang halal sampai-sampai diri sendiri kurang terurus, demi mengepulnya asap dapur.

Hari ini genap satu tahun umur anakku, tak terasa sudah telah satu tahun saya menjadi seorang ayah, tak terasa betapa cepatnya dia tumbuh, tak terasa betapa tambah lucunya ia, tak terasa betapa tambah lincahnya dia.
Disela kegembiraan akan bertambahnya umur anakku terbesit suatu kegalauan yang amat sangat mengendap dalam sanubariku sebagai ayah, apakah aku bisa memberikan yang terbaik buat anakku? Apakah aku bisa memberikan nafkah yang halal untuk anakku? Apakah aku bisa memberikan kebahagiaan kehidupan kepada anakku? Wallahualam, aku pulangkan semuanya kepada Allah SWT  yang memberikan kita kesehatan, rejeki, asal kita berusaha dengan sekuat tenaga dan optimis akan tujuan hidup ini.

Wassalam

Jumat, 30 April 2010

bilur bulir putih

Entah untuk yang keberapa kalinya motor itu dideru, entah untuk yang keberapa kalinya pintu rumah itu di buka tutup, entah untuk yang keberapa kalinya doa itu terucap dibatinmu. Hanya untuk satu pencapaian, bertahan hidup.

Pagi buta dia telah bangun dari peraduan untuk segera bergegas menyiapkan diri untuk menghadapi perjalanan hidup yang dia sendiri tidak tahu bagaimana akhir ceritanya. Hanya dibekali dengan segelas teh panas yang menghangatkan sisi lambung untuk mengarungi aktivitas kerasnya dunia. Dengan tergopoh-gopoh dia bergegas pergi demi menyelamatkan kehidupan dia dan anak-anaknya.

Sesampainya ibuku ditempat usahanya, hanya satu yang dimintanya kepada tuhan, agar cukup mendapatkan rejeki untuk dibawa pulang hari ini. Tetapi apa nyana bahwa kondisi daya beli masyarakat sekarang sudah jauh menurun akibat resesi ekonomi dunia yang turut menghantam negara pertiwi ini. Turunnya daya beli masyarakat tersebut juga ditunjang oleh menjamurnya pasar-pasar moderen sehingga masyarakat lebih memilih berbelanja ke pasar moderen yang menyajikan kesan eksklusif, berpendingin ruangan, bersih dan yang terutama ialah menjadi ajang tempat cuci mata dan sekedar berjalan-jalan untuk menghabiskan waktu, jauh berbanding terbalik dengan kondisi pasar tradisional yang ditempati oleh ibuku. Kesan jorok, becek ketika hujan turun, panas, bau, semua komposisi negatif diatas melekat erat di pasar tersebut seolah tak mau pisah. Mungkin inilah beberapa faktor-faktor dari sekian banyak faktor negatif lain yang menyebabkan turunnya daya beli masyarakat ke pasar tradisional. 


Dengan langkah gontai dan rona wajah yang tidak bersinar sewaktu pergi pagi berangkat ke pasar, ibuku hanya bisa pasrah dengan pendapatan yang diterimanya hari ini, jauh dari kata cukup, tapi beliau hanya bisa pasrah dan bersyukur karena masih diberi rejeki yang halal biarpun hanya sedikit. Dan yang terpenting masih diberikan kesehatan yang tiada bandingnya untuk mencari rejeki.


Capek, air muka tersebut terlihat jelas ketika beliau terlelap. Tampak jelas guratan-guratan nasib yang tidak berpihak kepada ibuku di permukaan wajahnya. Munculnya rambut-rambut putih yang datang sebelum waktunya, yang menandakan betapa beratnya perjuangan dan beban hidup yang ditimpakan kepikiran dan dipikul oleh pundaknya.


Tatkala aku perhatikan dengan seksama paras ibuku, terlihat jelas alur-alur bilur bulir putih di pipi yang berasal dari sudut kelopak matanya. Oh tuhan, ternyata ibuku sering menangis dalam kesendirian malam tanpa diketahui oleh siapapun juga, termasuk kami, anak-anaknya. Menangis karena beban hidup yang teramat berat, beban hidup yang dililitkan ditubuhnya, beban hidup yang selalu datang bertubi-tubi tanpa mengenal kata kompromi.


Bilur bulir putih tersebut menandakan bahwa ibuku hanya bisa tabah menghadapi cobaan hidup yang menimpanya. Entah sampai kapan bekas bilur bulir putih tersebut menghilang dari paras pipi ibuku.

Kamis, 22 April 2010

indahnya hidup ini

Persepsi tiap individu manusia tentang indahnya hidup ini pastilah berbeda-beda, jarang yang benar-benar memiliki kesamaan pandangan, jikalau pun hal itu ada mungkin dikarenakan berada di waktu yang sama dan peristiwa yang sama tetapi kebanyakan waktunya hanya bersifat sementara, dan ada juga kesamaan pandangan akan hidup yang dirasakan oleh indvidu yang berpasangan dalam menjalani bahtera hidup.

Di dalam pikiran kita, indahnya hidup adalah sesuatu hal yang menyenangkan pikiran, menentramkan jiwa, dan membuat kita tersenyum-senyum sendiri karena kita mengalami dengan sendirinya peristiwa-peristiwa yang menyenangkan tersebut, tapi banyak orang lupa bahwa indahnya hidup ini didasari oleh ketidak berpunyaan, ketidak berdayaan, kekalutan, kesusahan akan hidup yang digariskan oleh tuhan kepada kita. 

Memori yang menyenangkan dalam konteks sesuatu peristiwa yang bahagia, yang membuat sekujur tubuh menjadi bergairah, timbul optimisme hidup, dan betapa bersyukurnya kita telah menjadi seorang insan yang benar-benar layak dipilih oleh tuhan untuk merasakan keberuntungan tersebut. Sesungguhnya kita telah lupa, bahwa memori yang menyenangkan adalah memori yang menyakitkan. Kenapa? Karena dari memori yang menyakitkan tersebutlah kita bangkit melawan suratan garis tangan yang hina, melawan ketidak berdayaan akan hidup, melawan akan pesimisnya hidup, dan melawan ketidak adilan hidup yang diberikan kepada kita. Mayoritas dari kita semua pasti setuju kalau kesuksesan hidup itu harus dijalani dengan segala kesusahan yang tidak bisa kita elakkan dari pandangan mata dan suratan nasib tangan kita. Tetapi tidak semuanya mau dan siap untuk menjalani suratan nasib yang kalau dapat kita menginginkannya tidak hinggap dibadan kita apalagi hadir di takdir hidup kita. 

Memori yang menyakitkan inilah yang akan menjadi akar dari tumbuhnya optimisme hidup, tumbuhnya kebangkitan perlawanan terhadap kesusahan yang dijalani dan dirasakan. Memori yang menyakitkan adalah sumber dari segala-galanya, sumber yang akan menghantarkan kita kepada jenjang kebahagian yang mutlak dan hakiki serta tidak dapat terbantahkan, sumber dari kecercahan cahaya hidup yang positif. 

Esensi hidup yang mutlak itu lahir dari kebersamaan dalam menjalani hidup yang susah, hidup yang prihatin, hidup yang bersahaja, serta hidup dalam suratan nasib tangan yang hina. Di masa-masa seperti inilah kita selaku individu yang berpasangan, individu yang terhimpun dalam satu atap seperti keluarga dapat merasakan kebersamaan yang mutlak, keprihatinan hidup yang menyayat hati, kebersahajaan hidup yang akan membuat kita selalu rendah hati dan selalu bersyukur bahwa kita telah diberikan cobaan yang akan membuat kita bangkit dan mengenangnya selama hayat dikandung badan. Peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan yang tidak dapat kita tolak kehadirannya dalam kehidupan kita merupakan suatu keniscayaan bahwa tuhan itu selalu adil dan ingin kita merasakan sebenar-benarnya hidup di dunia ini, merasakan bahwa memang inilah yang namanya hidup, inilah indahnya hidup ini.

 

Kamis, 15 April 2010

penantian yang tak kunjung tiba

Masih teringat dengan jelas olehku betapa indah dan berkesannya acara resepsi itu. Kami disandingkan bak raja dan ratu satu-satunya dimuka bumi ini, semuanya memandang takjub, menyaksikan betapa serasinya kami bersanding, satu persatu tamu menyalami kami hingga pegal rasanya jari jemari ini. Aku bahagia telah diperkenankan oleh tuhan untuk dapat berdamping hidup dengan wanita yang aku cintai. Teramat susah aku membujuknya agar mau jadi istriku, butuh pengorbanan yang tak terbesar kiranya aku lakukan demi menaklukan hati engkau wahai pujaan hatiku.

Sah sudah kami menjadi suami istri menurut agama dan pemerintah, tidak ada lagi penghalang bagi kami untuk meneruskan garis riwayat keturunan kami. Tahun pertama tak terasa hilang sudah, semua cerita kebahagiaan yang ditafsirkan dalam buku hinggap di peraduan kami. Kami bahagia menjalaninya.

Sepuluh tahun sudah kami berlaku sebagai suami istri tapi belumlah lagi dititipkan calon anak manusia kepada istriku. Aku kecewa dan hampir putus asa karena tidak dikasih keturunan juga oleh tuhan. Segala macam daya dan upaya kami lakoni, mulai dari orang-orang bijak medis modern dan tradisional telah pernah kami himpitkan kekecewaan ini. Mereka semua bilang "bapak normal, ibu normal mungkin belum rejeki saja". Begitu klisenya nasehat-nasehat mereka yang tertancap di telinga ini. Apakah aku yang salah atau istriku yang tidak punya kemampuan bereproduksi? Sepertinya istriku tidak salah, ini murni kesalahan dari masa laluku yang ditimpakan kepadaku kini, ketika aku masih bujangan sering aku terlantarkan calon-calon anakku yang tertidur nenyak dalam rahim perempuan-perempuanku. Aku menyia-nyiakan itu semua. Inilah laknat tuhan kepada diriku.

tak terjulur kata tak terpegang tangan

Alhamdulillah aku terlahir di dunia ini dalam keadaan yang sehat walafiat, sempurna fisik dan bathinku, aku dilahirkan oleh seorang ibu yang benar-benar dapat diandalkan, benar-benar dapat dijadikan panutan hingga tua merayapi aku kelak. Oh ibu, begitu besar curahan jiwamu yang kau berikan kepada kami, anakmu. Dari kami menangis, menyuapkan kami makan, meninabobokan kami, mencuci popok kami, hingga tidak tidur sampai larut malam karena menjaga kami.

Hidup kami tidak selalu bisa dikatakan berkecukupan, hanya mengandalkan apa yang ada yang diberi oleh alam, semuanya pas-pasan. Terkadang hanya garam dan nasi putih yang kami makan, tak ada yang lain yang bisa dijadikan lauk pauk. Kami hanya bisa pasrah dan bersyukur bahwa diluar sana masih banyak yang lebih menderita dan menyedihkan kehidupannya.

Alhamdulillah aku kini dapat menyelesaikan bangku sekolah di perguruan tinggi, hanya tinggal adikku seorang yang masih kuliah nun jauh disana yang dijuluki kota pelajar, kota yang mewakili anak bangsa tigapuluh tiga propinsi Indonesia, semua itu berkat kerja keras ibuku. Aku masih punya ayah, beliau masih sehat walafiat, tidak ada kekurangan suatu apapun di fisik dan rohaninya, tetapi punya kekurangan yang besar dalam hati nuraninya. Tidak ada daftar nama kami di hatinya tersebut, tidak satupun.

Ayahku ada dalam kehidupan kami tapi tidak pernah benar-benar hadir dalam kehidupan keluarga kami. Beliau tidak pernah sungguh-sungguh untuk menyempatkan hadir dalam kehidupan berkeluarga, apalagi dalam kehidupan kami, anak-anaknya. Seingatku tidak pernah sekalipun dalam usiaku yang beranjak dewasa ini ayahku memberikan petunjuk dalam mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan oleh sekolah, tidak pernah menjadi wali murid dalam pengambilan nilai rapor kami, tidak pernah sekalipun kami bercanda layaknya kedekatan seorang ayah kepada anaknya. Yang diberikannya hanyalah kehampaan hidup, kekakuan komunikasi keluarga, dan jurang keakraban.

Beranjak dewasa aku baru mengetahui bahwa ayahku punya istri yang lain, aku shock mengetahui hal tersebut. Dunia seakan mau runtuh, sepertinya Tuhan tidak berpihak kepadaku, kepada ibuku, kepada keluarga kami. Aku bertanya-tanya, kenapa ayah kok tega memperlakukan kami seperti ini, apa salah kami, apa salah ibuku, seribu satu macam pertanyaan dan seribu satu macam ketidak percayaan meraung-raung menggerus dalam benakku. Oh tuhan, kenapa engkau berikan kami cobaan yang begitu menyakitkan ini?

Dapat oleh ku satu lagi kabar berita yang menyakitkan hatiku, ternyata ibuku adalah istri kedua ayahku. Astagfirullah, Aku menangis mengetahui hal ini, tak siap aku menghadapinya.

Ya allah ya tuhanku ternyata kehidupan ibuku dengan istri pertama ayahku sungguh jauh berbanding, istri pertama ayahku beserta anak-anaknya hidup bergelimangan harta, berlimpahan materi, laksana menjentik jari, apapun yang mereka inginkan dalam waktu sekejap terhimpun dalam genggamannya. Malangnya ibuku karena hidup sebagai istri kedua, tidak ada satu apapun yang dapat diperolehnya dari hasil memelas sembah kepada ayahku, yang ada hanya janji-janji manis yang tak tergenggam hingga kini. Ibuku tabah dalam menghadapi ketimpangan hidup yang tidak adil yang diberikan oleh ayahku.

Setelah bertahun-tahun hingga aku dewasa kini tidak ada satupun janji ayahku yang ditepatinya, jangankan meminta sesuatu yang bersifat mewah, untuk pangan saja kami harus memutar otak agar tidak mati kelaparan esok harinya. Aku menangis melihat ibuku yang tabah dalam menghadapi cobaan hidup ini. "Kita harus kuat ya buk".

Rabu, 14 April 2010

ampunkan aku ibu

Sering kuteringat ketika melihat ibu tidur dikala gelap telah menyapa, terpancar dari air mukanya mengatakan "aku lelah, aku capek dengan semua beban hidup yang ditimpakan ke atas pundakku, kedalam pikiranku, ke sum-sum tulang belakangku". Pancaran air muka yang tersimpan dalam kelelahan raga membuatku menangis tersedu-sedu, betapa tidak, sudah hampir separuh abad umurku tapi belum juga bisa membahagiakan beliau, memberikan sesuatu yang dikatakan oleh orang bijak sebagai sebuah pengabdian yang mendalam kepada orang tua, kepada ibuku.

Raut keriput wajah, hitamnya rambut telah tergerusnya oleh warna putih alami yang diberikan tuhan yang tiba sebelum waktunya, oh tuhan janganlah engkau turunkan itu semua sebelum waktunya, bertambah hilanglah kecantikan paras ibuku karena menanggung beban derita hidup.

Tatkala ibuku tidur, hinggap rasa haru, bangga, sedih, dan tersayat pilu sering mengetuk-ngetuk sisi otakku yang paling dalam, aku menangis, berapa banyak dosaku yang telah kuhantarkan dengan sengaja ke dalam hati ibuku, betapa sering aku membuatnya kecewa yang teramat dalam, betapa durhakanya aku ketika aku membantah omongan dan perintahnya padahal itu untuk kebaikan ku juga. Aku sungguh berdosa yang teramat sangat kepada ibuku. Ampunkan aku ibu..

Ketika matahari belum lagi beranjak tinggi, masih enggan untuk memunculkan wujud aslinya, ibuku telah bergegas pergi menuju ketempat mata pencahariannya, bertaruh nyawa dijalanan yang keras, yang notabene tidak mengenal lagi etika berlalu lintas. Dengan perasaan yang berharap akan dapatnya uang lebih dari hasil menjual barang dagangan, ibuku optimis bahwa hari ini akan mendapatkan rejeki yang lebih dari hari sebelumnya, akan tetapi seringkali ibuku kecewa bahwa pengharapan dengan kenyataan jauh sekali jaraknya. Uang yang didapat hari ini hanya cukup untuk beli sedikit beras, lauk pauk dan uang jajan anaknya, tanpa menyisakan sedikitpun untuk ditabung untuk hari tuanya.

Sepuluh tahun sudah ibuku bergelimang dengan kerasnya dunia pasar demi menghidupi kami agar dapat pendidikan yang tinggi, tidak seperti dia yang tidak pernah lulus mengecap dunia pendidikan. Ibuku berkata kepada kami " sekolahlah yang tinggi nak biar tidak seperti ibu, itulah modal kalian kelak, jangan seperti ibu yang tidak lulus sekolah". Tigapuluh tahun sudah aku hidup, tapi aku belumlah dapat membahagiakan ibuku, tapi aku optimis dalam mengabdikan diriku kepada ibuku bahwa suatu hari nanti pasti akan aku bahagiakan engkau dengan segenap hatiku yang tulus ibuku. Ampunkan aku ibuk.